Beranda » » Hikayat Jenazah Pesugih, Kulitnya Serupa Kedebong

Hikayat Jenazah Pesugih, Kulitnya Serupa Kedebong

Unknown | Tuesday, November 20, 2012


Di sepanjang jalan itu, seperti biasanya,  hiruk pikuk oleh lalu-lalang orang yang mengadakan transaksi ekonomi. Memang, di kanan kiri jalan itu banyak berjajar pertokoan. Macam-macam dagangannya, mulai dari mainan, kuliner hingga kebutuhan pokok sehari-hari. Sebab tempat tersebut termasuk tempat strategis untuk kegiatan berniaga.
Namun di antara sekian toko itu, ada satu toko besar yang tampak lebih ramai dibandingkan dengan toko-toko lainnya. Spanduknya berukuran 5 x 1 m bertuliskan “Toko Laili”. Barang dagangannya cukup banyak dan beragam. Di toko ini segala kebutuhan dasar sehari-hari tersedia.
Keduanya terkesiap saat membuka kain penutup jenazah. Dilihatnya jasad saudara perempuannya itu mirip sekali dengan kulit kedebong atau batang pohon pisang yang sudah mengering.
Pagi-pagi sekali, Toko Laili sudah buka. Sebab, saat itulah masyarakat mulai sibuk beraktivitas. Pembeli mengalir tak henti-henti. Bahkan kadang mengantri cukup lama untuk mendapatkan giliran, padahal toko-toko sembako serupa tidak jauh dari tempat itu. Mereka menganggap di toko ini, apa yang mereka butuhkan tersedia sehingga sekali belanja tidak perlu mencari-cari ke tempat lain. Toh harganya pun standar.
Tentu saja pemandangan ini membuat iri para pedagang lainnya. Malahan pemilik kios-kios lain seringkali terbengong-bengong melihat orang hilir-mudik terus di Toko Laili. Mereka heran kenapa toko itu begitu ramai pengunjungnya sementara yang lain biasa-biasa saja.
Mbak Yu, toko seberang itu kok ramai terus ya?” tanya Umi kepada Sarmi.
“Ya. Padahal dulu keadaannya sama seperti toko kita,” tukas Sarmi.
“Mbak Yu pernah coba mengulik secara diam-diam rahasia kesuksesan toko itu?”
“Belum pernah. Tapi dulu sebelum seramai sekarang, kuperhatikan Laili sering mencari-cari tabloid atau koran mistik.”
“Terus, apa hubungannya?”
“Di dalam media itu banyak iklan seputar pelet, jimat-jimat, ajian-ajian, obat-obatan bahkan penglaris.”
“Apa itu penyebabnya, Mbak Yu?”
“Entahlah, kita tidak usah su’u-dzan.”
Keduanya menutup pembicaraan siang itu sembari memeras otak bagaimana agar dagangan mereka juga bisa ramai.

Rajin ‘Berikhtiar’
Pada hari Sabtu atau Minggu pagi, Laili (35 thn, nama samaran) memang sering pergi untuk suatu keperluan. Biasanya, ia berangkat pagi-pagi sekali dan pulangnya menjelang petang. Jika ia pergi, ibunyalah yang ganti menjaga tokonya. Toko Laili sebenarnya milik ibunya, namun saat ibunya beranjak tua, Laili-lah yang meneruskannya.
Laili berpikir bahwa selama ini toko yang dikelola ibunya itu  tak mengalami kemajuan berarti. Memang tetap berjalan seperti toko-toko lainnya, namun perkembangannya sungguh lambat. Padahal Laili sudah bermimpi, ke depan tokonya harus lebih besar dengan dagangan yang lebih beragam.
Sampai suatu ketika ia disarankan oleh seorang teman untuk mencoba berkonsultasi dengan “orang pintar”. Orang pintar yang dimaksud adalah seorang dukun yang seringkali didatangi orang-orang yang punya problem usaha, keluarga serta jodoh.
“Cobalah! Banyak kok orang yang usahanya kembang-kempis namun setelah ‘berikhtiar’ usahanya menjadi lebih baik!” temannya meyakinkan.
Semula Laili acuh saja. Namun setelah dipikir-pikir di rumahnya, ia pun termakan provokasi temannya. “Tak ada salahnya mencoba, siapa tahu ini adalah jalan keluarnya,” batin Laili.
Entah kenapa mulai saat itu, perempuan satu ini mulai keranjingan mendatangi dukun, paranormal dan orang-orang yang disebut-sebut “pintar”. Tujuannya sama, yakni mencari cara agar usahanya jauh lebih maju. Dari satu orang ke orang lain, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota ke kota lain. Ia mulai rajin mencari-cari informasi melalui koran, tabloid dan majalah, agar mendapatkan sesuatu yang paten yang bisa mengubah dunianya. Betapa pun harus merogoh koceknya dalam-dalam sebagai mahar, Laili tidak keberatan asalkan membuahkan hasil.
Beberapa bulan kemudian, upaya Laili membuahkan hasil. Semakin lama, dirasakan tokonya kian ramai oleh para pembeli. Malahan kadang-kadang pagi-pagi benar, sudah ada pembeli yang mengetuk rumahnya untuk berbelanja, padahal tokonya belum juga dibuka. Laili senang. Ini tandanya ada kemajuan.
Stok dagangan di Toko Laili semakin menumpuk. Segala kebutuhan masyarakat yang sebelumnya tidak ada dan mesti pergi ke kota untuk membelinya, kini bisa didapatkan di Toko Laili. Tidak cukup di situ saja, Toko Laili yang tadinya melayani eceran saja perlahan berubah menjadi agen, yang artinya melayani partai-partai besar. Untuk itu, Laili mempekerjakan 4 orang untuk membantunya. Merekalah yang melayani kebutuhan-kebutuhan para pembeli.
Setelah dua tahun lewat, sekarang Laili bisa tersenyum lebar. Dari belakang meja kasir, ia tampak sumringah melayani para pembeli. Kini, kunci sukses seolah berada di genggaman tangannya sembari mengingat bahwa ikhtiarnya selama ini mendatangi satu “orang pintar” ke “orang pintar” lainnya ternyata cukup manjur. Ia juga percaya, dengan menjalankan sejumlah ritual yang disarankan usaha yang dilakoninya akan terus meningkat. Padahal ritual-ritual yang dilakukan itu sejatinya tidak diperkenankan oleh agama, namun Laili tak peduli yang penting tujuan yang diinginkannya tercapai.
Sebaliknya, pemilik kios lain di sekitarnya perlahan mulai khawatir. Sebab dari hari ke hari, grafik pembeli mereka terus menurun. Jika begini terus, bukan tidak mungkin mereka akan gulung tikar sebab pelanggan satu per satu beralih ke Toko Laili. Toko itu seolah memiliki magnet yang luar biasa yang bisa menyedot orang untuk datang dan datang lagi.
Namun lambat laun aroma ketidakwajaran Laili dalam menjalankan roda usahanya tercium juga oleh beberapa orang di sekitarnya. Entah dari mana muasalnya, tiba-tiba, beredar kabar seputar ikhtiar sampingan Laili yang menggunakan penglaris santer terdengar. Dari satu mulut ke mulut lain, kemudian menyebar. Rupanya dugaan Mbak Yu Sarmi tentang kesukaan Laili mencari info tentang penglaris dan semacamnya mendekati kebenaran.
Laili tidak menanggapi isu yang berhembus tersebut tetapi juga tidak menampik. Ia pun beranggapan tidak ada yang salah dengan dirinya.
“Sah-sah saja bukan? Aku tidak merugikan orang lain,” gerutu Laili mendengar selentingan orang yang mencibir ikhtiarnya.
Di seberang jalan, tampak Mbak Yu Sarmi dan Umi seperti biasa bercengkerama.
“Mbak Yu, dugaanmu sepertinya benar. Ternyata orang-orang banyak membincang kesuksesan Laili yang diperoleh melalui cara mencari penglarisan,” kata Umi agak serius.
“Biarlah... Kenapa kita ikut repot? Baik atau buruk, toh pelakunya sendiri nanti yang akan menangung resikonya,” jawab Mbak Yu Sarmi.
Seiring perjalanan waktu, berita itu sirna dengan sendirinya. Nyatanya tak berdampak apa-apa terhadap usaha Laili. Dagangan Laili tetap lancar dan sukses.

Layu dan Tua Renta
Usaha Laili sukses sehingga menempatkan dirinya sebagai seorang juragan baru yang kaya. Laili sesungguhnya tak bakal menyangka kesuksesan yang diraihnya bakal secepat ini. Hanya dalam hitungan kurang dari 5 tahunan, semuanya berubah. Sang ibu pun senang mendapati anaknya yang mewarisi usaha dagangnya bisa lebih sukses dan maju pesat.
Sayangnya, Laili tak bisa merasakan kesuksesannya lebih lama. Di saat usahanya mengalami kemajuan, mendadak perempuan ini jatuh sakit. Ia mengira dirinya terlalu letih akibat memforsir fisiknya sehingga menyebabkan dirinya drop. Karena itu, ia hanya minum obat yang tersedia di tokonya serta memperbanyak istirahat saja di rumah. Akan tetapi dugaan Laili meleset sebab makin lama penyakitnya justru makin parah. Usaha dibawa ke medis sudah dilakukan. Berbulan-bulan penyakitnya tak kunjung sembuh dan akhirnya ajal pun tiba.
Kontan saja berita kematian Laili menyebar. Keluarga dekat berkumpul, tak terkecuali Nursalim dan Mustakim, dua saudara lelaki Laili. Mereka bahkan siap membantu prosesi memandikan jenazah.  Akan tetapi sebelumnya ia berniat melihat wajah saudara perempuannya itu untuk terakhir kalinya.
Saat menyingkap bagian muka, terlihatlah wajah Laili yang aneh sehingga mengagetkan mereka. Wajah itu berkerut-kerut, layu sekali dan terlihat seperti wajah nenek tua renta padahal ia masih tergolong muda (sekitar 40-an thn). Bukan di bagian muka saja, di bagian leher, kemudian di lengan kanan kiri, kaki kanan kiri yang terbuka semuanya tampak layu seperti pepohonan yang meranggas. Mereka tak berani memegang kulit saudara perempuannya yang berbeda sekali dari kulit aslinya. Jasad saudara perempuannya itu ternyata mirip sekali dengan kulit kedebong pisang yang sudah mengering.
Astaghfirullah... Bagaimana bisa terjadi?” tanya Nursalim.
Saudara lelakinya itu hanya menggelengkan kepala. Ia juga bingung sekali dan tak habis pikir kenapa bisa demikian. Padahal sebelumnya kulit saudara perempuannya masih biasa-biasa saja. Tak ada yang aneh, tetapi begitu disingkap bagian mukanya saat hendak dimandikan seolah semua kulit yang terbuka itu mirip dengan kulit kedebong pisang.
“Kita panggil ustadz saja!?”
Tak beberapa lama kemudian, sang ustadz sudah tiba di tempat itu. Setali tiga uang, ia pun tercengang mendapati pemandangan demikian namun segera menguasai diri. Tak lama kemudian berdoa agar prosesi jenazah dari awal hingga akhir dimudahkan oleh Allah swt. Sang ustadz tak dapat menyembunyikan keheranannya atas pemandangan yang baru saja dilihatnya.  Sementara Ibu Laili pun tak kuasa menahan kesedihannya.
Peristiwa di tahun 80-an ini sungguh di luar dugaan. Memang hanya beberapa orang saja yang melihatnya, namun berita perubahan kulit Laili menjadi berkeriput dan sangat tua itu sempat menjadi buah bibir masyarakat. Sebagian orang kemudian mengaitkan dengan cara Laili menjalankan usahanya sewaktu hidupnya.


Sumber: http://majalah-hidayah.com 

Kategori : Misteri

Judul Artikel : Hikayat Jenazah Pesugih, Kulitnya Serupa Kedebong
Rating : 100% | Reviewer : Unknown | based on : 99998 | ratings : 100 user reviews.

Belum ada komentar untuk "Hikayat Jenazah Pesugih, Kulitnya Serupa Kedebong"

Post a Comment

 
Copyright © 2012. ADITYA STATION - All Rights Reserved