Beranda » » [Umair bin Wahab Al-Jumahy] Musuh Islam yang Berbalik Membela Islam

[Umair bin Wahab Al-Jumahy] Musuh Islam yang Berbalik Membela Islam

Unknown | Sunday, December 2, 2012


penghuni-surga
Usai perang Badar, kaum muslimin menawan sejumlah pasukan musuh. Di antara orang–orang Quraisy yang tertawan adalah Wahab bin Umair bin Wahab Al-Jumahy. Ayahnya, Umair bin Wahab Al-Jumahy, adalah pahlawan Quraisy yang tentu saja sangat memusuhi Islam. Kabar tertawannya Wahab membuat Umair bin Wahab Al-Jumahy sangat sedih. Gerangan apa yang menimpa anaknya di tangan pasukan musuh?

Pikirannya sontak gelisah. Setiap hari, siang dan malam, Umair dilanda risau. Bayangan sang anak selalu menari-nari di pelupuk matanya. Bayangan kematian dan ketidakjelasan hidup anak terkasih karena nyawanya ditawan pasukan Muhammad.

Saat pilunya tetap menyergap, suatu ketika ia bercengkerama dengan karibnya, Shafwan bin Umayah, pemuda dari anak seorang Quraisy. Saat itu, Shafwan juga sedang dalam duka yang mendalam karena ayah kesayangannya mati di perang Badar.
Ia sesumbar dan nekat menemui Rasulullah untuk membunuhnya. Tapi, tiba-tiba, nyalinya ciut. Lidahnya kelu seraya berikrar masuk Islam saat berhadapan dengan Rasulullah. Allah telah membalikkan hatinya sedemikian cepat.
“Demi Allah, tidak ada kehidupan yang lebih baik sesudah kematian pahlawan-pahlawan Quraisy...” ujar Shafwan.
“Demi Allah, memang begitu! Benarlah kata-katamu itu, hai Shafwan! Demi Allah, jika saja aku tidak punya pinjaman banyak yang hingga kini aku belum dapat melunasinya, dan seumpama aku tidak punya banyak anak yang selalu aku khawatirkan makannya jika aku tinggal mati, niscaya aku datang kepada Muhammad, dan aku bunuh dia. Hatiku amat sakit padanya. Mengapa dia  sampai berani menawan anakku yang kucintai?” timpal Umair membenarkan.
“Hei, kalau betul-betul kau mau membunuh Muhammad, aku sanggup membayar lunas semua pinjamanmu. Adapun anak-anakmu, biar bersama anak-anakku dan orang-orang yang jadi tanggunganku. Akulah yang menanggung makannya selama aku masih hidup,” tukas Shafwan menjamin.
 “Betulkah begitu Shafwan?” Umair terbelalak, setengah tak percaya.
“Mengapa tidak? Aku toh seorang laki-laki? Jangan khawatir!”
 “Kalau memang betul kau sanggup, baiklah, hal ini kita rahasiakan dulu, dan jangan sampai ada seorangpun yang mendengar!”
 “Ya, baiklah! Dan segera kerjakanlah!”
Keduanya kemudian bergegas pulang ke rumah masing-masing. Sesampai di rumah, Umair segera berkemas-kemas dan menyediakan peralatan perang selengkapnya, diantaranya pedang beracun. Dan esoknya, Umair pun berangkat.

Disambut Umar bin Khaththab

Di Madinah, suatu hari, Umar bin Khaththab bersama sekelompok kaum muslimin asyik membincang perang Badar. Mereka bersyukur pertolongan yang Allah turunkan kepada kaum muslimin mampu memberangus laju pasukan musuh. Namun di tengah pembicaraan tersebut, tiba-tiba terdengar suara seseorang datang.
Ketika Umar menoleh, terlihat Umair bin Wahab sedang bergerak menuju ke arah masjid dengan unta yang ditungganginya. “Hei, itu dia si Umar bin Wahab, musuh Allah! Demi Allah, pasti kedatangannya untuk maksud jahat! Dialah yang menghasut orang banyak dan mengarahkan mereka untuk memerangi kita di perang Badar!” ujar Umar berang, membangkitkan semangat kaum muslimin yang ada di sana seraya tak berkedip sekejap pun memandangi Umair.
Sementara Umair terus melaju menuju masjid. Ia lihat kiri-kanan, mencari tahu dimana Muhammad berada. Pedang beracun andalannya dihunuskan. Dia datang dengan mata dan muka merah seolah-olah sedang mabuk, menandakan kemarahan yang menyala. Ia duduk tegak di atas untanya. Kemudian setelah ia sampai di masjid, turunlah ia dan mengikat untanya.
Saat itu, Rasulullah ada di dalam rumah. Dengan cepat Umar berlari menuju ke sana dan masuk ke dalam rumah dan setengah berseru kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah! Itulah seteru Allah, Umair bin Wahab, yang telah datang dengan menyelempangkan pedangnya mencarimu!”
Umar lalu membawa Umair masuk menghadap Nabi. Akan tetapi yang terjadi sungguh di luar dugaan. Bagai harimau yang kehilangan gigi, Umair sama sekali tidak berkutik ketika tali pedang beracunnya dipegang Umar. Ada ketakutan yang tidak bisa disembunyikan ketika Umair berhadapan dengan Umar. Ia hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Sesampainya Umar dan Umair di hadapan Nabi, ia pun mengingatkan sikap Umar yang kurang bersahabat. “Lepaskanlah dia, Umar!” Dan Umar pun patuh.
“Selamat pagi untukmu, hai Muhammad!” tegur Umair. Ucapan penghormatan yang lazim dilakukan masyarakat jahiliyah.
“Sesungguhnya Allah telah memuliakan kami dengan suatu ucapan kehormatan yang lebih baik dari pada ucapanmu itu Umair. Penghormatan itu ialah salam…(Assalamu’ alaikum),” sambut Rasulullah.
“Dan gerangan apa yang membawamu kemari?” imbuh Nabi.
 “Aku datang kemari ini hendak bertemu dengan anakku yang sekarang ada di tanganmu, hai Muhammad.”
“Tidak! Sama sekali bukan itu alasannya. Jujurlah apa yang hendak kau katakan. Jangan berdusta.”
 “Sungguh. Aku hendak bertemu dengan anakku, dan aku ingin meminta kepadamu agar kau berbuat baik kepada anakku.”
“Tapi, apa maksudnya dengan pedang yang kau bawa itu? Kenapa kau meminta anakmu sambil menghunuskan pedang?”
“Pedang ini tidak ada gunanya sedikit pun. Semoga Allah menjelekkan pedang ini.” Umair berkata ragu setengah takut. Ia tak bisa menyembunyikan maksud kedatangannya yang tidak semata-mata ingin membebaskan anaknya tetapi juga untuk membunuh Rasulullah.
“Tidak begitu Umair! Dan apakah kau mau membenarkan ucapanku jika aku mengatakan yang sebenarnya motif di balik kedatanganmu ini?”
“Sungguh Muhammad, aku tidak datang kemari melainkan untuk itu.”
Aroma ketegangan segera dilumerkan Nabi seraya tersenyum melihat tingkah Umair. “Cobalah dengarkan kata-kataku! Beberapa saat yang lalu, kau duduk bersama-sama Shafwan bin Umayyah di Hijr, lalu kau dan Shafwan menyebut-nyebut kaum Quraisy yang tertanam semua jasadnya di sumur Badar. Selanjutnya, kau mengatakan begini dan begitu dan shafwan pun juga berkata begini dan begitu, lantas kau menyahutnya, bukankah begitu?”
Keterangan Nabi sedikitpun tidak berselisih dari apa yang diperbincangkan Umair dan Shafwan.
“Hei, mengapa kau tahu begitu jelas dan rinci? Padahal waktu itu tidak seorangpun yang tahu!”
“Ya tentu saja aku tahu, karena ada yang memberitahukanku. Dan betulkah semua yang aku katakan itu?”
Keheranan yang berubah menjadi kekaguman itu membuat benih kebencian di hati Umair mencair, bahkan sirna. Ia kagum pada pribadi Rasulullah yang hangat dan serba tahu. Maka seketika itu juga ia memutuskan untuk memeluk agama Muhammad.
Anaa asyhadu annaka Rasulullah, saya menyaksikan bahwa sesungguhnya engkau memang utusan Allah!”
“Sungguh, aku dulu memang mendustakan engkau, Muhammad, dengan segala apa yang telah kau datangkan dari langit dan segala yang diturunkan atasmu. Ihwal yang kau katakan tadi, sungguh ketika aku bercakap-cakap dengan Shafwan, tidak seorangpun yang tahu melainkan aku dan Shafwan. Tapi demi Allah, aku sekarang mengerti dan sangat percaya bahwa segala apa yang datang kepadamu itu tidak lain dari Allah sendiri.”

Membela Agama Allah

Umair pun lantas meminta izin kepada Nabi hendak pulang bersama anaknya yang telah dibebaskan Rasulullah.
“Wahai Rasulullah! Dulu aku seorang pembela bagi pemadam cahaya Allah. Namun kini berbeda. Oleh sebab itu, aku hendak pulang ke Mekkah, Di sana, akan aku sampaikan kepada kawan-kawan Quraisy supaya mereka ikut dan mengakuimu sebagai Rasul-Nya dan memeluk Islam. Mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk dari Allah. Namun bila mereka tidak mengikuti, aku akan menyakti mereka sebagaimana aku dulu menyakiti sahabat-sahabatmu.”
Dengan semangat kepahlawanan, Umair berusaha ingin menutupi segala kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya di masa jahiliyah. Dan atas perubahan itu, Umar bin Khaththab pun berubah menjadi sangat mencintainya. “Demi Allah yang diriku di tangan-Nya! Sesungguhnya aku lebih suka melihat babi daripada Umair sewaktu mula-mula muncul di hadapan kita! Tapi sekarang, aku lebih suka kepadanya daripada sebagian anakku sendiri,” tegas Umar.
Sementara itu, berita keislaman Umair sudah mulai ramai dibicarakan. Setiap rombongan yang datang dari Madinah, tidak ada kata yang terlewat selain membicarakan keputusan Umair memeluk agama Muhammad. Bumi terasa berputar bagi Shafwan

Islamnya Shafwan

Setibanya di Mekkah, Umair segera menyerukan kaum musyrikin Quraisy, terutama kepada Shafwan agar mau masuk Islam. “Shafwan, kau kan seorang ketua (penghulu) kaum Quraisy, tapi mengapa engkau menyembah kepada batu-batu dan berhala itu? Demi Allah, sekarang aku telah menyaksikan bahwa sesungguhnya tiada Tuhan melainkan Allah dan meyakini pula bahwa sesungguhnya Muhammad itu hamba dan utusan-Nya. Aku mengajakmu wahai kawan, supaya kau segera mengikuti Muhammad!”
Ajakan Umair sama sekali tak digubris. Ia marah luar biasa pada Umair. Ia bahkan bermaksud akan menyerangnya karena merasa dihianati. Tapi, niat itu segera urung melihat Umair masih mengusung pedangnya.
Shafwan segera menghindar dan mengambil sikap berseberangan dengan Umair. Sementara itu, jumlah orang-orang Quraisy yang masuk mengikuti jejak Umair semakin banyak. Mereka dibawa secara rombongan menuju Madinah untuk menghadap Muhammad dan belajar al-Qur’an langsung kepadanya.
Ketika Fathu Mekkah, Umair mencium berita rencana Shafwan berangkat ke Jeddah untuk berlayar ke Yaman. Menurut desas-desus yang beredar, ia akan bunuh diri dengan terjun ke laut karena diburu rasa takut, apalagi pada Muhammad.
Menyadari ini, Umair tidak tinggal diam dan langsung menghadap Rasulullah untuk mengadukan hal ini. “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya Shafwan itu adalah penghulu kaumnya. Ia hendak pergi melarikan diri dengan terjun ke luar karena takut kepadamu. Aku mohon agar kau beri dia keamanan dan perlindungan. Semoga Allah melimpahkan karunia-Nya kepadamu!”
“Kupastikan dan kujami dia aman!”
Umair segera pergi mengejar Shafwan yang hendak berangkat berlayar. Sambil membawa sorban yang dikenakan Rasulullah ketika memasuki kota Mekkah, Umair pun lalu menunjukkannya kepada sahabat Shofwan sebagai jaminan. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersedia menjamin keamanan dan perlindungan kepadanya. Shafwan setengah tak percaya berita itu. Namun untuk memastikan, Shafwan akhirnya diajak menghadap Rasulullah. Dan sejak itulah Shafwan mengucapkan dua kalimat syahadat mengikuti jejak yang telah ditempuh Umair.
[Disarikan dari 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bustoni, Pustaka Al Kautsar, 2002/Hidayah]


Sumber: http://majalah-hidayah.com/iktibar/kisah-teladan/umair-bin-wahab-al-jumahy--musuh-islam-yang-berbalik-membela-islam.html

Kategori : Islam

Judul Artikel : [Umair bin Wahab Al-Jumahy] Musuh Islam yang Berbalik Membela Islam
Rating : 100% | Reviewer : Unknown | based on : 99998 | ratings : 100 user reviews.

1 Komentar untuk "[Umair bin Wahab Al-Jumahy] Musuh Islam yang Berbalik Membela Islam"

 
Copyright © 2012. ADITYA STATION - All Rights Reserved